Melindungi kaum minoritas yang tertindas menjadi retorika
yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.
Kenyataannya, ramainya wacana tersebut tidak berbanding lurus dengan praksis
kehidupan keberagamaan di sisi lain. Sejumlah persekusi dan diskriminasi
terhadap kaum minoritas masih sering terjadi. Buku ini memberikan perspektif
baru tentang pentingnya memahami sekaligus melindungi kelompok minoritas
sebagai realitas soiologis yang tak terbantahkan dalam kehidupan ini. Kelompok
minoritas niscaya ada dan wajib dilindungi keberadaannya; tidak untuk dimusuhi,
apalagi dipersekusi.
Jakarta – Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra bekerjasama dengan Ormas Islam Ahlulbait Indonesia (ABI), Komunitas Pembelajar Islam (KUPAS), Gramedia menyelenggarakan talkshow dan bedah buku “Menemani Minoritas” karya Ahmad Najib Burhani di aula kampus STFI Sadra, Sabtu, 16 Maret 2019.
Bedah buku Menemani Minoritas dihadiri oleh empat orang pembedah, di antaranya Musa al Kadzim (Koordinator KUPAS), Kholid al Walid (Ketua STFI Sadra), Zainal Abidin Baqir (Direktur CRCS UGM), Ahmad Najib Burhani (penulis dan peneliti LIPI), dan dimoderatori oleh Hertasning Ikhlas (Directur YLBHU) Keempat pembedah tersebut memberikan sudut pandang yang berbeda dalam memandang fenomena minoritas.
Penulis, Ahmad Najib Burhani merupakan tokoh muda Muhammadiyah dan peneliti senior LIPI. Berkaitan dengan definisi minoritas, selama ini minoritas dipahami sebagai kelompok yang secara angka stratistik lebih rendah atau lebih sedikit jumlahnya dibandingkan penduduk yang lain. “Namun, bagi akademisi, minoritas adalah secara objektif menempati posisi yang tidak menguntungkan di dalam masyarakat,” kata Najib Burhani.
Najib juga berpendapat bahwa peneliti maupun profesi apa pun perlu terlibat dalam berbagai fenomena sosial. “Tidak boleh berhenti sebagai peneliti. Dia harus bergerak. Ini yang menggerakkan saya untuk menjadi peneliti yang meneliti dan menemani minoritas.”
“Buku ini adalah perpaduan tulisan akademis dan advokasi. Pada debat pertama capres dan cawapres sama sekali tidak disinggung masalah kelompok minoritas. Ini yang memotivasi agar buku ini selesai terbit sebelum masa kampanye selesai. Alasan lain, saat saya meneliti sebuah kejadian memaksa saya harus ikut terlibat dalam advokasi di lapangan.”
Pembicara kedua Zainal Abidin Baqir, menurutnya intoleransi di Indonesia disebabkan oleh konservatifisme agama, berbeda dengan yang di New Zealand karena supremasi kulit putih seperti yang baru terjadi kemarin.
Menurutnya, sejak kapan Syiah atau Ahmadiyah menjadi minoritas? dari dulu hingga sekarang Syiah, Ahmadiyah tetap mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, tetapi dahulu mereka bisa berdialog dengan organisasi semisal NU, Muhammadiya secara publik, sementara sekarang dialog sudah ditutup. Jadi yang lebih bahaya itu tentang meminoritaskan, atau minoritasisasi. Sebetulnya, Menurut Zainal, pelaku yang meminoritaskan itu berasal dari kelompok kecil tapi nyaring dan ada yang memanfaatkannya.
Kholid al Walid mengawali pembicaraanya dimulai dengan pembacaan surat terbuka untuk Presiden terkait Kuriyah korban diskriminasi Syiah Sampangyang meninggal akhir Ramadan lalu yang ditolak jenazahnya di kebumikan di tanah kelahirannya, Sampang Madura. Menurutnya mereka yang berkoar-koar menyudutkan yang minoritas sebenarnya adalah mereka yang minoritas, tetapi mereka difasilitasi karena yang mayoritas itu toleran.
Musa al Kazhim mengapresiasi atas keberanian penulis yang berasal dari Muhamadiyah untuk membela minoritas yang bukan sekedar membela tapi turun lapangan menemani minoritas, menariknya buku ini melihatnya dari sudut pandang teologi, sebagai seorang Muslim yang berasal dari ormas Islam besar Muhammadiyah penulis mempunyai legitimasi untuk membela atas nama Islam minimal dalam konteks Indonesia.
Sebagai penanggap di sesi akhir ada Ahmad Hidayat dari ormas Ahlulbait Indonesia (ABI) dan berbagai kelompok lain yang hadir. (ASF/Aba Haidar)
Buku
berjudul Menemani Minoritas ini bukan saja berisi uraian ilmiah ihwal
pentingnya menumbuhkan dialog dan toleransi terhadap minoritas, melainkan pula
berisi suatu keberpihakan dan keterlibatan dalam membela yang lemah—sesuatu
yang kerap diabaikan kelompok yang menyebut diri sebagai kaum intelektual.
Ahmad Najib Burhani, pengarang karya ini, adalah sosok intelektual yang telah
menunjukkan keberanian memasuki wilayah yang seringkali dihindari oleh para
peneliti yang ingin bermain aman: membela hak-hak minoritas dan kaum lemah.
Lebih
dari itu, pengarang berani menyimpulkan bahwa “mayoritas” itu sendiri
seringkali patut dicurigai sebagai gerakan minoritas untuk menindas, lantaran
dalam kenyataannya homogenitas itu hanyalah mitos. Bahkan, kelompok yang menyebut
diri sebagai mayoritas itu sebenarnya tak lebih dari sekelompok minoritas yang
gemar kekerasan dan gagap berinteraksi dengan pihak lain dengan cara-cara
beradab dan terhormat.
Dengan
bersikap demikian, pengarang buku ini telah memberikan harapan akan munculnya
kembali generasi intelektual Islam yang bukan saja pandai menulis dan berbicara
tapi juga berani melakukan perbaikan dan melawan ketidakadilan. Apalagi saat
ketidakadilan itu hendak memakai kesucian Islam sebagai alat penindasan dan
pengendalian.
--Musa
Alkadzim
Wakil
Ketua Umum Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia (ABI)