Tuesday, April 30, 2019

Kuliah Umum FU: Perlu Keberpihakan pada Minoritas

Gedung FUBERITA UIN Online— Toleransi dalam kehidupan sosial yang plural di tanah air perlu diterjemahkan dengan penghargaan dan akomodasi atas berbagai kelompok minoritas. Toleransi tanpa ada apresiasi dan akomodasi pada kelompok ini dikuatirkan hanya melahirkan harmonisme semu pada kehidupan yang sosial plural.
Demikian benang merah kuliah umum Prodi Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Jakarta yang berlangsung di Ruang Teater AR Partosentono, Senin (22/4/2019). Kuliah umum bertajuk Menatap Minoritas Agama: Mitra, Sekutu, atau Musuh? Diikuti sejumlah guru besar, dosen, dan mahasiswa berbagai fakultas.
Kuliah umum sendiri menghadirkan dua narasumber, yakni Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Ahmad Najib Burhani dan Ketua Dewan Sesepuh Sangha Theravada Indonesia Bhikku Dhammasubho Mahathera. Kuliah umum dibuka langsung Dekan Fakulas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman MA.
Dalam paparannya, Najib mengungkapkan, minoritas perlu difahami sebagai kelompok sosial yang tidak diuntungkan di tengah-tengah kehidupan berbangsa-bernegara, terbatasi hak-hak individu-sosialnya. Selain itu, kelompok in juga biasanya menjadi objek penghinaan, kebencian, isolasi sosial, dan sasaran kekerasan.


Kelompok dengan kondisi demikian, sambungnya, masih banyak ditemukan di tanah air. Biasanya kelompok ini menyangkut keyakinan keberagamaan yang tidak cukup populer di tengah-tengah praktik keagamaan masyarakat mayoritas.
“Kehadiran kelompok ini dengan kondisi yang terdiskriminasi, terpinggirkan adalah fakta. Perlu keberpihakan kepada mereka sebagai bagian dari warga sebuah negara,” katanya.
Sementara dalam paparannya, Dhammasubho mengungkapkan, kendati jaminan kebebasan keyakinan keberagamaan sudah diberikan oleh negara, namun realitas diskriminasi masih banyak ditemukan pada kelompok sosial minoritas. Ketakutan atas kehadiran kelompok minoritas menjadi alasan kelompok terakhir terpinggirkan.
“Berbagai gejolak sosialnya masih muncul di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, pendirian rumah ibadah, bahkan konflik pemakaman warga dari kelompok ini masih bisa ditemukan hingga hari ini,” katanya.
Baik Najib maupun Dhammasubho sepakat perlunya menghilangkan paradigma hubungan negatif antara mayoritas-minoritas. Seluruh elemen bangsa perlu mengedepankan sikap satu kesatuan sebagai bangsa.
Sementara itu, dalam pembukaannya Dr. Yusuf Rahman mengungkapkan, keberadaan minoritas juga telah menjadi perhatian para cendekiawan Muslim akhir-akhir ini. Perhatian mereka misalnya menekankan pemaknaan kelompok minoritas sebagai kelompok yang secara sosial, ekonomi, dan bahkan pemahaman keagamaan berada pada posisi yang perlu dihargai.
“Dan, kegiatan kuliah umum hari ini merupakan salah satu upaya kita menyikapi hal tersebut. Saya selaku dekan, menyambut baik kegiatan ilmiah seperti ini,” tuturnya.
Kementerian Agama RI Matangkan RUU PUB
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Agama Prof. Dr. Oman Fathurahman yang hadir turut menyampaikan informasi bahwa Kementerian Agama RI saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). RUU ini tengah dibahas dengan mempertimbangkan masukan cendekiawan dan tokoh-tokoh agama sehingga diharapkan menghasilkan regulasi yang cukup akomodatif dalam menata kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang sangat beragam.
RUU PUB sendiri, sambung Oman, lahir dari keinginan pemerintah untuk memberikan perlindungan atas kebebasan beragama di Indonesia. Berbagai bentuk konflik sosial seperti pengusiran kelompok keagamaan, bahkan kesulitan penggunaan lahan pemakaman pada komunitas tertentu diharap tidak lagi terjadi. “Dengan begitu, RUU PUB ini diharapkan bisa mendorong kehidupan beragama yang lebih harmonis, menghindarkan masyarakat dari konflik sosial keagamaan,” tandasnya. (adit/her/zae)

https://www.uinjkt.ac.id/id/kuliah-umum-fu-perlu-keberpihakan-pada-minoritas/

Friday, April 26, 2019

FU UIN Jakarta holds studium generale on minority rights

by  | 22 April 2019

FU, UIN News Online – Religious Studies Department of the Faculty of Ushuluddin (FU) UIN Jakarta holds studium generale on minority rights, Monday, (04/22/2019) at the Theater room of Ushuluddin Faculty, campus I of UIN Jakarta.
By raising the theme on “Menatap Minoritas Agama: Mitra, Sekutu, atau Musuh?”, this seminar aims to encourage the majority to respect the rights of minority groups in Indonesia present two speakers, they are Main Researcher of the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Ahmad Najib Burhani and Chairperson of the Council of Elders of Sangha Theravada Indonesia Bhikku Dhammasubho Mahathera.
Dhammasubho in his presentation said, although the guarantee of freedom of religious beliefs has been given by the state, the reality of discrimination is still found in minority social groups.
“Various social upheavals still appear in the midst of society. For example, the establishment of places of worship, even the funeral conflicts of this minority group can still be found today,” he said.
Both Najib and Dhammasubho are agreed that the paradigm of negative relations between the majority-minority needs to be eliminated. All elements of the nation need to put forward the attitude of one unity as a nation.
Dean of FU UIN Jakarta Yusuf Rahman also revealed that the existence of minorities has also been a concern of Muslim scholar. They emphasizes the minority groups as groups that are socially, economically, and even religious understanding is in a position that needs to be appreciated.
“Today’s public lecture is one of our efforts in addressing this matter.  As a Dean, will always welcome this kind of scientific activities,” said Yusuf.
Meanwhile, Expert Staff of the Minister of Religious Affairs Oman Fathurahman who was present also conveyed the information that the Ministry of Religion of the Republic of Indonesia is currently working on the Draft Law on Religious Community Protection (PUB Bill). This bill is being discussed by considering the input of scholars and religious leaders. The billis expected to produce accommodating regulations in managing the diverse religious life of the Indonesian people.

The PUB Bill itself, continued Oman, was born from the government’s desire to provide protection for religious freedom in Indonesia. Various forms of social conflict such as the expulsion of certain religious groups are no longer expected to occur. (usa)

Wednesday, April 24, 2019

Pemaknaan terhadap Istilah Minoritas


Tangerang Selatan, NU Online
Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Ahmad Najib Burhani dalam stadium general yang diadakan oleh Prodi Studi Agama-agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin, (22/04) menyampaikan beberapa isu-isu terkait minoritas, terutama mengenai keberpihakannya terhadap kelompok tersebut.

Untuk menghindari kesalah pahaman mengenai konsep minoritas-mayoritas penulis buku Menemani Minoritas itu mengungkapkan bahwa minoritas itu tidak bisa dilihat dalam segi kuantitas.

“Dalam Al Qur’an, minoritas itu mengacu pada mustadh’afin, yakni mereka yang lemah dan tertindas, oleh karenanya tidak bisa dilihat secara kuantitas,” ungkap Najib Burhani di Ruang Teater lantai 4 Fakultas Ushuluddin.

Lebih lanjut ia mencontohkan, dalam negara penjajah, superioritas itu diwakili oleh orang-orang yang jumlahnya sedikit, sedangkan yang terjajah adalah mereka yang jumlahnya lebih banyak.

Selain itu, di Indonesia kelompok perempuan menempati posisi jumlahnya yang begitu banyak, namun dikategorikan sebagai minoritas, majority but minority, karena keberadaannya didominasi oleh struktur sosial patriarki yang mana hak-haknya terkurangi.

“Minoritas di sini lebih pada makna oppressed, inferiorized, dan discriminated, adalah mereka yang secara objektif tidak memilki posisi yang tidak menguntungkan dalam masyarakat berbeda dengan kelompok doinan yang mana mereka memilki kesempatan lebih besar ketimbang kelompok minoritas,” paparnya.

Najib menyebutkan beberapa karakteristik di mana suatu kelompok disebut sebagai minoritas. Pertama,keberadaan minoritas menyiratkan keberadaan kelompok dominan yang menikmati status sosial yang lebih tinggi dan hak istimewa yang lebih besar.

Kedua, status minoritas membuat mereka mengalami pengucilan dari partisispasi penuh dalam keiduapan masyarakat.

Ketiga, minoritas diperlakukan sebagai orang yang berbeda yang memilki kekhasan tersendiri dalam masyarakat. 

Keempat, Konsep minoritas itu bukan statistik yang berarti jumlah minoritas bisa lebih besar ketimbang kelompok dominan, namun mereka tetap menjadi minoritas sebab posisinya tetap subordinat dengan kelompok lain.
 
Meskipun pemaknaan minoritas-mayoritas mengundang kontroversial, bahkan dinilai sebagai pengotakan dan penuduhan terhadap kelompok mayoritas, namun Najib tetap menggunakan terminologi tersebut, sebab baginya term tersebut dapat digunakan sebagai frame untuk memberikan pembelaan terhadap mereka yang lemah, mereka yang selama ini dkucilkan dan tidak mendapatkan hak yang sama dalam berasyarakat. (Nuri Farikhatin/Fathoni)

Friday, April 19, 2019

Studium Generale "Menemani Minoritas di UIN Jakarta

Stadium General & Bedah Buku "Menemani Minoritas" di Fak. Ushuluddin UIN Jakarta, Senin, 22 April 2019, Jam 8.30 - 12.00 WIB

Ruang Teater Fak. Ushuluddin, Lt. 4




Wednesday, April 10, 2019

Bedah Buku "Menemani Minoritas" di Malang

Aspirasi buku ini bukanlah pembelaan juridico-politico saja, yakni pembelaan yg mengedepankan nilai-nilai HAM, namun sebuah pengakuan (recognition) & persahabatan yg bertitik tolak dr perspektif ke-Indonesia-an & Islam yg ramah. Paradigma Indonesia & Islam yg dibeberkan menawarkan sumbangan yg dalam & timely kpd komunitas intelektual internasional, baik yg Muslim maupun non-Muslim.

-- Prof. Robert W. Hefner




Friday, April 5, 2019

Bedah Buku "Menemani Minoritas" oleh IMM FIAD UM Surabaya

Empat karakteristik minoritas: 
1) keberadaan minoritas menyiratkan keberadaan kelompok dominan yang menikmati status sosial yang lebih tinggi dan hak istimewa yang lebih besar; 
2) status minoritas membuat mereka mengalami pengucilan dari partisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat; 
3) minoritas diperlakukan sebagai orang yang berbeda, memandang diri mereka dalam posisi seperti itu, dan akibatnya mengembangkan sikap dan bentuk perilaku yang kadang melebih-lebihkan kekhasan dan isolasi mereka; dan 
4) konsep minoritas bukan “statistic”, yang berarti bahwa minoritas dapat melebihi jumlah kelompok dominan tetapi masih tetap minoritas karena posisinya tetap subordinate terhadap kelompok lainnya.


Kajian Pakar PUSAD UM Surabaya

Dlm debat Pilpres IV (30/3), @Jokowi menanyakan ke @prabowo ttg konflik Rohingya di Rakhine State, Myanmar. Sayangnya, soal minoritas dlm negeri tak disinggung sejak debat I. Sengaja diabaikan? Simak:

Kajian Pakar PUSAD UMSurabaya
Volume 5 :
1. Ahmad Najib Burhani, Ph. D (Penulis Buku : Menemani Minoritas dan Peneliti LIPl)
2. M. Rokib, MA (Mahasiswa Doktoral Universitas Frankfrut, Jerman)
Bedah Buku : Menemani Minoritas 
link Youtube : 
share and subscribe !


Monday, April 1, 2019

BUKU MENEMANI MINORITAS KUPAS TUNTAS ALASAN TEOLOGIS DAN PSIKOLOGIS PERLUNYA MEMBELA MINORITAS

Jakarta, Lpm-demosophia.com – Alasan teologis dan psikologis menjadi dasar keharusan untuk membela kaum minoritas sebagaimana yang disampaikan oleh Najib Burhani dalam Seminar Bedah Buku “Menemani Minoritas” yang dilaksanakan di Auditorium al-Mustafa STFI Sadra Jakarta pada Sabtu 16 Maret 2019, “Ada argumen mengapa kita perlu pembelaan terhadap minoritas. Saya lupa, tetapi setidaknya ada argumen psikologis, secara psikologis misalnya saya selalu mencontohkan yang Syiah Sampang atau Meliana di Tanjung Balai, jadi banyak yang minoritas itu hidup dalam keadaan tertekan tetapi tidak bisa mengekspresikan dirinya kepada publik, dan apa yang saya lakukan itu adalah balancing argument di dalam masyarakat misalnya kasus Tanjung Balai dia sudah hidup di situ beberapa tahun, mungkin lima tahun dan mungkin dalam kondisi tidak apa-apa tetapi kemudian tuntunan yang ketika ia melakukan protes dan terjadi pembakaran dan sebagainya, tuntutan yang diberikan masyarakat melebihi dari kemampuannya. Misalnnya ia harus meminta maaf secara nasional, harus tidak kembali pada kampung tersebut, beberapa tempat ibadah harus ditutup di situ. Saya menuliskan ada beberapa tuntutan yang ini melebihi kesalahan yang dia lakukan dan misalnya tuntutan dari masyarakat selalu menggunakan kalimat ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ dan ini menjadi eufemisme (pelembutan ungkapan) dan sikap diskriminatif”. Selain itu ia menambahkan argumen teologis, “tetapi paling tidak bahwa ketika kita melihat fakir miskin mereka yang terdiskriminasi itu tidak masuk dalam kategori itu, jadi ada kriteria misalnya yang tertinggal, terjauh, terbelakang tetapi yang tertindas itu tidak masuk kriteria yang mendapatkan infak dan sodaqoh”.
Pada sesi diskusi Khalid al-Walid sebagai penanggap menegaskan bahwa pemerintah memberikan andil terjadinya diskriminasi pada minoritas dengan menekankan bahwa masalah utama terletak pada pemberi upeti, “karena salah satu yang kita liat atau saya saksikan upeti juga memberikan kontribusi, jadi siapa yang memberikan upeti”. Ahmad Zainuddin sebagai penanggap juga memberikan solusi pada problem tersebut dengan memfokuskan pada kebijakan pemerintahan, “kalau menurut saya, misalnya ya kalau di DPR dan di pemerintahan itu diatasi bukan dengan menjadikan mereka sebagai orang moderat atau bahkan progresif. Saya kira bukan tugas kita menjadikan orang DPR menjadi progresif misalnya sekolah di sini. Ya, Sadra misalnya supaya mereka pintar dan itu bagus juga, tapi itu bukan tugas kita. Ya itu bisa diatasi dengan good governance”.
Selain itu, pada sesi penutup diskusi terakhir Musa al-Kadzim memberikan solusi pada perspektif teologis “kita harus bersama sama mendibam, membongkar mitos tafsir tunggal tentang islam”. (SPS/Fadlu,Ed/RD)

Diskusi IPM Banten