Jakarta, Lpm-demosophia.com – Alasan teologis dan psikologis menjadi dasar keharusan untuk membela kaum minoritas sebagaimana yang disampaikan oleh Najib Burhani dalam Seminar Bedah Buku “Menemani Minoritas” yang dilaksanakan di Auditorium al-Mustafa STFI Sadra Jakarta pada Sabtu 16 Maret 2019, “Ada argumen mengapa kita perlu pembelaan terhadap minoritas. Saya lupa, tetapi setidaknya ada argumen psikologis, secara psikologis misalnya saya selalu mencontohkan yang Syiah Sampang atau Meliana di Tanjung Balai, jadi banyak yang minoritas itu hidup dalam keadaan tertekan tetapi tidak bisa mengekspresikan dirinya kepada publik, dan apa yang saya lakukan itu adalah balancing argument di dalam masyarakat misalnya kasus Tanjung Balai dia sudah hidup di situ beberapa tahun, mungkin lima tahun dan mungkin dalam kondisi tidak apa-apa tetapi kemudian tuntunan yang ketika ia melakukan protes dan terjadi pembakaran dan sebagainya, tuntutan yang diberikan masyarakat melebihi dari kemampuannya. Misalnnya ia harus meminta maaf secara nasional, harus tidak kembali pada kampung tersebut, beberapa tempat ibadah harus ditutup di situ. Saya menuliskan ada beberapa tuntutan yang ini melebihi kesalahan yang dia lakukan dan misalnya tuntutan dari masyarakat selalu menggunakan kalimat ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ dan ini menjadi eufemisme (pelembutan ungkapan) dan sikap diskriminatif”. Selain itu ia menambahkan argumen teologis, “tetapi paling tidak bahwa ketika kita melihat fakir miskin mereka yang terdiskriminasi itu tidak masuk dalam kategori itu, jadi ada kriteria misalnya yang tertinggal, terjauh, terbelakang tetapi yang tertindas itu tidak masuk kriteria yang mendapatkan infak dan sodaqoh”.
Pada sesi diskusi Khalid al-Walid sebagai penanggap menegaskan bahwa pemerintah memberikan andil terjadinya diskriminasi pada minoritas dengan menekankan bahwa masalah utama terletak pada pemberi upeti, “karena salah satu yang kita liat atau saya saksikan upeti juga memberikan kontribusi, jadi siapa yang memberikan upeti”. Ahmad Zainuddin sebagai penanggap juga memberikan solusi pada problem tersebut dengan memfokuskan pada kebijakan pemerintahan, “kalau menurut saya, misalnya ya kalau di DPR dan di pemerintahan itu diatasi bukan dengan menjadikan mereka sebagai orang moderat atau bahkan progresif. Saya kira bukan tugas kita menjadikan orang DPR menjadi progresif misalnya sekolah di sini. Ya, Sadra misalnya supaya mereka pintar dan itu bagus juga, tapi itu bukan tugas kita. Ya itu bisa diatasi dengan good governance”.
Selain itu, pada sesi penutup diskusi terakhir Musa al-Kadzim memberikan solusi pada perspektif teologis “kita harus bersama sama mendibam, membongkar mitos tafsir tunggal tentang islam”. (SPS/Fadlu,Ed/RD)
No comments:
Post a Comment