Saturday, September 12, 2020

Berbeda itu Konstitusional

 

Amiruddin al-Rahab

Wakil Ketua Komnas HAM-RI

Takdir menjadi warga negara Indonesia adalah hidup bersama minoritas. Sebab masyarakat Indonesia adalah himpunan dari minoritas dalam segala spektrumnya. Dengan menerima minoritas menjadi bagian dari diri kita, bermakna kita menerima adanya perbedaan. Sebab perbedaan adalah konstitusional. Maka dari itu semboyan Bhinneka Tunggal Ika akan terasa lebih bermakna karena mengakui adanya heterogenitas dalam segala hal dengan bingkai kebangsaan Indonesia.

Buku Dilema Minoritas di Indonesia (2020) yang  pendahuluannya ditulis oleh Profesor Ahmad Najib Burhani, mengajak kita untuk memahami kenyataan-kenyataan hadirnya berbagai problematika minoritas dalam ke-Indonesiaan dan mengakui perbedaan-perbedaan.

Mayoritas dan Minoritas

Paling nyaman bagi seseorang adalah membayangkan dirinya menjadi bagian dari mayoritas yang homogen. Apapun himpunan yang dibayangkan mayoritas itu. Terbayang dalam kemayoritasan itu ada kekuatan besar yang dominan, ada ruang gerak yang luas, serta tidak berada dalam tekanan.

Sementara menjadi minoritas, banyak yang tidak menginginkan, karena secara sosial-politik dengan sendirinya selalu ada perasaan dihantui rasa tersisih, tertekan, dan terancam. Menjadi minoritas adalah seperti memasuki ruang yang terasa serba tidak nyaman. Meskipun begitu, menjadi bagian dari minoritas atau mayoritas bukanlah sebuah pilihan yang begitu saja ada.

Minoritas sesungguhnya konsep yang lentur, meskipun jumlah populasi yang kecil selalu menjadi ukurannya. Namun minoritas tidak selalu tergantung pada populasi yang kecil itu. Minoritas juga selalu diasosiasikan dengan kelompok lemah, tertekan, tersisihkan, dan tersubordinasi, meskipun jumlah populasinya besar. Namun populasi yang minoritas bisa pula menjadi dominan dikala memiliki sumberdaya ekonomi-politik yang besar.

Masyarakat Indonesia jika ditilik lebih dalam, akan tampak bagaikan bangunan yang tersusun dari himpunan minoritas. Ada paling tidak 656 suku dan sub-suku (kelompok etnis) tersebar dari Merauke sampai Pulau We yang tercatat dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia karya Zulyani Hidayah (1996). Dari seluruh suku dan sub-suku itu paling tidak terdapat 500-an bahasa.

Dari 600-an lebih suku itu Leo Suryadinata mencatat di tahun 2000, berdasarkan sensus yang jumlah populasinya melampau satu juta jiwa hanya ada 15 kelompok etnis. Hanya Jawa dan Sunda yang berpopulasi di atas 10 juta jiwa. Sementara jika dilihat dari sisi agama, maka populasi pemeluk agama terbesar adalah Islam yang tersebar di semua provinsi.

Kemudian diikuti oleh pemeluk Kristen, Hindu, Budha, dan lainnya. Kini Mahkamah Konstitusi juga mengakui bahwa penganut aliran-aliran kepercayaan merupakan agama yang harus diperlakukan setara dengan pemeluk agama lainnya.

Menarik untuk kita simak temuan Leo Suryanata dalam bukunya Indonesia’s Population: Etnicity and Religion in a Changing Political Lanscape. Dalam buku itu, Leo Suryanata mengolah data-data hasil Sensus 2000.

Dari data-data tampak bahwa tidak ada lagi etnis dan agama yang tunggal di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan kata lain, populasi di tiap-tiap provinsi di Indonesia telah terjadi pencampuran yang luar biasa. Dalam kehidupan sehari-hari tentu telah terjadi interaksi dan integrasi antar semua kelompok etnis dan pemeluk agama itu.

Kenyataan sosio-antropologis Indonesia yang ada kini, jika dilihat mulai dari Timur sampai ke paling Barat akan tampak pazel etnik dan agama saling-silang laksana mozaik.

Mulai dari satu etnik dengan beragam agama, sampai pada satu agama dengan beragam etnik. Bahkan ada agama dan etnik laksana bongkahan besar, tetapi juga ada etnik dan agama seperti serpihan. Mungkin kenyataan seperti itulah para pendiri negara ini membungkusnya dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Sesungguhnya apa yang dimaksud minoritas dan mayoritas tidak pernah utuh. Hal itu terjadi karena identitas seseorang tidak pernah tunggal. Identitas bisa berhimpitan antara klan, etnis bahkan religi. Relasi berbagai identitas itu dalam diri seseorang bisa mengemuka atau mendominasi tergantung pada konteks dan permasalahan yang dihadapi.

Paling tidak, jika kita mengacu pada Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa, Silang Budaya (2008), ada tiga lapisan peradaban yang telah mengubah dan membentuk relasi etnis di Jawa, yaitu lapisan Hindu-budha, Islam, dan Barat. Artinya peradaban-peradaban itu telah saling mempengaruhi dan membentuk komunitas-komunitas di Nusantara.

Relasi Kuasa

Manuel Castelles (1996) dalam bukunya The Power of Identity, bahwa menguatnya suatu identitas selalu merupakan buah dari power relation (relasi kuasa). Identitas, apakah melekat pada minoritas, maupun mayoritas, tidak pernah datang dengan sendirinya, melainkan dikonstruksikan dengan tujuan untuk menumbuhkan sentimen positif atau negatif. 

Kerap kali didorong oleh kepentingan elit. Artinya persoalan yang muncul dalam relasi mayoritas dan minoritas pada dasarnya bukanlah persoalan hubungan antar kelompok semata, melainkan ekpresi dari persoalan ekonomi-politik antar kelompok. 

Dikala dorongan kepentingan elit belum timbul, relasi minoritas dan mayoritas biasanya berjalan biasa saja, tanpa kecemburuan dan rasa keterancaman. Hal itu bisa kita jumpai ketika proses jual-beli di pasar-pasar, makan di restoran, dan saat minum kopi di cafe-cafe.  Bahkan berdiam di suatu kampung bertetangga dekat adalah hal yang biasa.

Kenyataan tersebut mudah kita jumpai di berbagai daerah di Indonesia. Hal itu terjadi karena migrasi orang di Indonesia telah menjelajah ke semua pelosok.

Relasi yang tenang, bisa menggelegak tatkala interes ekonomi-politik masuk kedalam relasi minoritas dan mayoritas. Apapun jenis dan bentuk interes itu.

Bisa bermula dari munculnya kehendak mendominasi, hasrat pemurnian, dan keinginan memonopoli. Ketika ketiga hal itu mengedepan, jumlah populasi akan dijadikan kekuatan. Di saat-saat seperti itulah diskriminasi bisa terjadi, penyingkiran timbul, dan pengentalan identitas terbentuk. Akibatnya yang jumlah populasinya sedikit bisa menjadi objek tekanan. Dalam kondisi seperti itu rasa sebagai minoritas dan tersisih tiba.

Belakangan ini, relasi minoritas dan mayoritas bisa tiba-tiba menegang, baik di tataran wilayah atau lokal, maupun dalam fora nasional. Picunya bisa saja kontestasi dalam Pilkada, atau dalam helat politik nasional. Atau bisa pula dalam kontestasi antar tokoh merebut pengaruh di komunitas. Fanatisme bisa dipompakan ke dalam komunitas untuk menekan, mengasingkan atau menyingkirkan yang dianggap berbeda atau berlainan.

Dalam suasana itu, yang tadinya menjadi bagian dari mayoritas bisa menjelma menjadi minoritas. Seseorang atau kelompok bisa disisihkan dan ditekan karena berbeda agama atau kepercayaan, meskipun etnisnya sama. Bisa pula seseorang atau suatu kelompok menjadi objek penyingkiran, karena etnisnya berbeda walaupun agamanya sama.

Hal ini tampak dari perlakuan kepada penganut agama-agama leluhur oleh kelompok etnisnya sendiri, karena etnis tersebut mayoritas menganut agama yang diakui negara. Atau tampak dalam peristiwa ketegangan antar etnis di beberapa tempat, meskipun agamanya sama.

Dari uraian di atas dapat dikatakan, siapapun di Indonesia bisa menjadi minoritas, jika muncul satu sentimen yang berkehendak untuk memonopoli dan mendominasi wacana. Alat untuk itu, etnis dan agama bisa saja dipakai.

Propaganda mengenai kemayoritasan tunggal dan utuh dengan mudah dibentuk dan dikembangkan. Salah satu caranya adalah menciptakan bayangan akan adanya ancaman. Ancaman itu selalu yang dikonstruksikan asing, sesat, dan berlainan dari yang digambarkan sebagai identitas mayoritas.

Segala spektrum problem-problem keminoritasan yang kini muncul di Indonesia adalah akibat langsung dari bayangan tentang adanya kemayoritasan yang tunggal dan utuh itu. Sesuatu yang merasa tunggal, biasanya mudah cemburu.

Mungkin karena menyadari itu semua, bapak-bapak dan ibu-ibu pendiri negara ini membuat negara berbentuk republik. Sebab dalam republik, para publik adalah tiap-tiap orang tanpa dibeda-bedakan. Semua diniatkan untuk diperlakukan sama.

Itu semua kemudian diperkuat dengan adanya UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Tindakan diskriminatif itu bisa berupa pembedaan, pengecualian atau pembatasan berdasarkan etnis atau ras. Atau bisa pula menunjukan kebencian dan rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis. Tindakan-tindakan yang demikian merupakan tindak pidana. Pelaku dan penganjur tindakan demikian bisa dipidana melalui proses hukum.

Sayangnya setelah 12 tahun UU No.40/2008 diberlakukan, masih kerap terlupakan. Atau hampir-hampir diabaikan oleh aparatus negara. Jika kita ingin mengatasi persoalan-persoalan relasi yang timpang antara keminoritasan dan kemayoritasan, mau tidak mau UU No.40/2008 ini mesti diterapkan sebagai salah satu jalan. Mungkin dengan begitu kita bisa mempertahankan ke-Indonesiaan dalam jangka waktu yang panjang dengan menjadikan perlindungan HAM sebagai kesadaran bersama.

Maka dari itu mengkaji dan mendalami tentang keminoritasan, apapun dimensinya kini menjadi penting. Sebab hanya dengan mengenali dan menerima keminoritasan tersebutlah kita bisa berbagi ruang dalam memahami dan mengimajinasikan ke-Indonesiaan dan menjalankan Pancasila dan UUD ‘45 dengan lebih konsisten. Sehingga hidup bersama yang lebih  baik akan bisa terwujud.

https://jibpost.id/berbeda-itu-konstitusional/

No comments:

Post a Comment

Diskusi IPM Banten