Wednesday, May 22, 2019

Video Singkat Menemani Minoritas di JAI Parung

Liputan video singkat bedah buku Menemani Minoritas  di JAI Parung, Bogor, 18 Mei 2019.

Diundung dari Instagram Rafi Assamar Ahmad:


Monday, May 20, 2019

3 Kelompok Besar Islam Bicara Minoritas

Dari kiri: Mubarak Ahmad Kamil (MKAI), Dr. H. Rumadi Ahmad, MA (Ketua Lakpesdam PB NU), Michael Sebastian (Gusdurian Bogor), dan Dr. Ahmad Najib Burhani (Penulis Buku “Menemani Minoritas”)
SwarnaInstitute.org. “Menemani Minoritas”, bagi kelompok-kelompok agama besar terutama mayoritas Islam di Indonesia memotret kondisi resesi atas kebebasan berkeyakinan/beragama yang akhir-akhir ini dialami oleh kelompok minoritas. “Menemani Minoritas”, merekam jejak proses kelompok minoritas dalam memperjuangkan hak-haknya secara eviden dan menyingkap jati diri sebuah kelompok agama yang berbeda sehingga berujung menyandang status sebagai “Minoritas”. Ahmad Najib Burhani seorang Peneliti Senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) merefleksikan hal itu dalam sebuah bukunya yang berjudul “Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan kepada yang Lemah”.

Dalam diskusi dan bedah bukunya di Gedung Baitul Kemang, Kab. Bogor (Sabtu, 18/2/2019), ia mengulas secara dasar pengertian kelompok Minoritas yang termarginalkan dalam berbagai aspek. Sebagai salah satu Pengurus Pusat Muhamadiyah yang mengkaji persoalan kelompok umat beragama/berkeyakinan, ia mengatakan adanya dominasi kelompok tertentu secara hegemoni dalam masyarakat sehingga kapasitas kelompok lainnya sebagai warga negara dibatasi antar paham mayoritas dan minoritas.

“Minoritas mengindikasikan adanya super ordinat dan sub ordinat. Kemudian ada masyarakat yang mengalami ketertindasan dan termarginalkan karna ada dominasi secara hegemoni pada kelompok tertentu”, tuturnya.

Ia menegaskan definisi minoritas bukan dilihat dari banyaknya pengikut atau massa dalam sebuah kelompok, terlebih hak dan kewajibannya sebagai masyarakat yang tidak dilindungi serta tindakan diskriminasi terhadap status sosial kian mengancam kehidupan kelompok umat beragama/ berkeyakinan lainnya.

“Yang disebut minoritas mereka yang mengalami ketidakperlindungan secara sosial. Minoritas bukan monorit dan statistik tetapi lebih kepada nasib dan pemberlakuan masyarakat kepada kelompok tersebut”, ujar Nadjib.

Kendati akan hal itu, Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PB NU (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdhatul Ulama), menanggapi konflik kelompok-kelompok minoritas yang dielaborasi dalam buku tersebut, salah satunya Ahmadiyah. Meskipun Ahmadiyah tersebar hingga 206 negara di dunia, namun peristiwa penyegelan rumah ibadah Ahmadiyah di Depok tahun 2017 dan pengusiran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok tahun 2018 menunjukan keberpihakan masyarakat atas kelompok mayoritas.

Ia juga menyampaikan solusi yang ditangani secara persfektif Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap kasus-kasus minoritas tidaklah cukup berperan menghadapi diskriminasi dan intoleransi atas perbedaan keyakinan maupun ajaran. Baginya komunikasi antar umat beragama/keyakinan menjadi titik temu dalam membangun inklusi sosial bagi masyarakat khususnya dalam kehidupan sehari-hari.
“Ternyata menyelesaikan kasus-kasus konflik sosial dari kelompok minoritas yang dianggap sesat itu tidak bisa hanya menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia. Akhirnya harus ditempuh dengan mode-mode inklusi sosial. Membangun jembatan komunikasi antar kelompok yang dianggap minoritas”, pungkas Rumadi dalam menanggapi konflik minoritas dari persfektif NU.

Rumadi juga meninjau kelompok-kelompok minoritas yang mendapat SKB Tiga Menteri termasuk Ahmadiyah dan Millah Abraham (Eks Gafatar). Ia menganalisis komparasi kedua kelompok tersebut baik secara dinamika hukum dan sosial yang berkembang.

“Ahmadiyah diuntungkan secara hukum. Tidak pernah ada pengadilan yang menyatakan Ahmadiyah itu organisasi terlarang dan berbahaya. Tapi dari sisi sosial hal itu (peristiwa Ahmadiyah) ongkosnya sangat mahal sekali. Berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah terhadap Millah Abraham (Eks Gafatar), mereka ditangani dan dibubarkan organisasinya serta diadili beberapa orangnya yang disebut melanggar pasal penodaan agama. Tapi Ahmadiyah tidak ada. Sejauh ini Ahmadiyah tidak melanggar pasal 156 a KUHP dan organisasinya tidak dibubarkan maupun orang-orangnya tidak ada yang diadili”, ujar Rumadi.

Selain itu, MKAI (Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia), Mubarak Ahmad Kamil juga merespon positif hadirnya buku Menemani Minoritas. Kamil mengatakan buku tersebut mengupas sejarah Ahmadiyah dan menjelaskan peristiwa-peristiwa diskriminasi secara eksplisit yang dialami Ahmadiyah. Ia berharap buku tersebut dapat mempengaruhi setiap pembaca agar dapat memahami dan menerima Ahmadiyah dengan baik, terlebih seorang penulisnya, Ahmad Najib Burhani merupakan tokoh Islam dari Muhammadiyah, sehingga persektif tentang Ahmadiyah dapat objektif.
“Saya bersyukur sekali karena referensi dalam buku ini tidak akan pernah usang, karena Nadjib menceritakan Ahmadiyah secara nyaman dan mudah dipahami. Karena jika kita cek di Gramedia, sangat sedikit buku yang pandangannya positif tentang Ahmadiyah”

“Buku ini akan menjadi rujukan bagi penulis/peneliti yang hendak mengenal tentang Ahmadiyah. Buku ini menjadi solusi bagi 0,01 persen orang Indonesia yaitu orang yang punya minat membaca. Dan 99,99 persen lainnya yang tidak menyentuh buku ini, harapannya 0,01 persen bisa mempengaruhi yang 99,99 persen. Karena buku ini sangat jujur dan apa adanya tentang Ahmadiyah”, ujar Kamil.


Penulis: Fauziah Rivanda

http://swarnainstitute.org/2019/05/20/3-kelompok-besar-islam-bicara-minoritas/

Sunday, May 19, 2019

Bedah Buku "Menemani Minoritas": Perlu Perspektif Lain Membaca Ahmadiyah


Chandra Iswinarno

Bedah Buku "Menemani Minoritas" di Gedung Baitul Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (18/5/2019). [Suara.com/Rambiga]

Tak ada perbedaan sama sekali antara Muslim Ahmadiyah dengan kelompok muslim pada umumnya, kecuali keyakinan Imam Mahdi telah turun pada wujud pendiri Ahmadiyah.



Suara.com - Minoritas kerap didefinisikan dengan jumlah kecil dan secara kekuasaan lemah, lantran itu pembelaan pada kelompok minoritas menjadi sikap yang seharusnya ditunjukan umat beragama atau cendekiawan untuk menegakan keadilan dan mendapatkan haknya.

Demikian diungkapkan Pengurus Pusat Muhammadiyah sekaligus Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Najib Burhani dalam pemaparan hasil penelitiannya dalam buku 'Menemani Minoritas'.
Najib mengatakan buku tersebut memaparkan perkenalannya dengan ragam komunitas minoritas, khususnya minoritas keagamaan di Indonesia, dengan memotret langsung keseharian kegiatan kelompok tersebut.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam buku tersebut adalah Ahmadiyah, komunitas muslim yang sudah dikenalnya selama 14 tahun. Ia pun telah menyaksikan dan menjalani kegiatan keagamaanya.
"Salah satu inti pembahasan itu, kita sering lihat Ahmadiyah dengan dari sisi persepektif A dari persepktif B. Tapi ada sebagian masyarakat yang tidak bisa menerima konsep-konsep itu, kita perlu melihat perspektif yang lain, yang menegakkan keagamaan, yang theologis dalam membaca tentang Ahmadiyah," kata Najib, di Gedung Baitul Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (18/5/2019).
Najib sebagai peneliti pun mengikuti berbagai kegiatan keagamaan muslim Ahmadiyah seperti Jalsah (pertemuan tahunan) Ahmadiyah baik di Indonesia maupun di tempat awal berdirinya Ahmadiyah, yakni Qadian, India. Bahkan, bertemu dengan pemimpin tertinggi Muslim Ahmadiyah, Hazrat Mirza Masroor Ahmad yang diyakini sebagai Khalifah Muslim Ahmadiyah seluruh dunia.
Menurutnya, tidak ada perbedaan sama sekali antara Muslim Ahmadiyah dengan kelompok muslim pada umumnya, kecuali keyakinan Imam Mahdi telah turun pada wujud pendiri Ahmadiyah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
Kemudian, setelah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat, kepemimpinan Muslim Ahmadiyah dilanjutkankan dalam bentuk Khilafat Spiritual dengan pemimpin tertingginya saat ini adalah Khalifah V yang bernama Hazrat Mirza Masroor Ahmad.
"Jadi buku 'Menemani Minoritas' ini mendasarkan kepada pendekatkan teologis tidak hanya HAM dan citizenship. Sebagian orang tidak dari kelompok Islam itu. tidak mau menerima konsep-konsep itu. Indonesia seperti sulit melihat mereka yang berbeda baik etnis, suku secara agama dan pemahaman agama dari satu agama. Kita perlu untuk lebih terbuka dari perbedaan itu dengan Bhineka Tunggal Ika bukan secara diskriminasi," ungkapnya.
Ia berharap, konstitusi Bangsa Indonesia harusnya melindungi perbedaan tersebut menjamin warganya dalam beragama serta memiliki keyakinan.
"Saya kira tidak ada hal-hal yang dilakukan melanggar dalam konteks negara. Jadi konsititusi itu melindungi segenap mereka yang memiliki keyakinan agama dan yang lain untuk ikut berdialog dan yang lainnya. Hanya saja ada kelompok tertentu itu memaksakan pemahaman yang dikatakan berbeda, seolah sejalan dengan komstitusi padahal tidak," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad mengatakan mengenal Ahmadiyah hampir 30 tahun sejak masa kuliah. Saat itu, Ahmadiyah selalu rajin mengenalkan Alquran yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.
Lanjut Rumadi, komunitas Ahmadiyah sangat unik. Meski terus menerus mendapatkan tindakan kekerasan, tetapi mereka tidak pernah mau menunjukan kekuatan perlawanan fisik, selalu sabar menghadapi semua tindakan tersebut.
"Gelombang tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah naik turunnya sangat ditentukan isu politik. Tapi secara hukum saat ini, Ahmadiyah lebih diuntungkan karena tidak ada pengadilan yang menyatakan Ahmadiyah dilarang oleh pemerintah," ujar Rumadi.
Dalam kegiatan bedah buku 'Menemani Minoritas' turut pula dihadiri oleh Ketua Umum Pemuda Ahmadiyah Mubarak Ahmad Kamil, Ketua Pemuda Pancasila Kecamatan Kemang Asep, Komunitas Gusdurian, Yayasan Satu Keadilan dan ratusan peserta lainnya.
Kontributor : Rambiga

https://jabar.suara.com/read/2019/05/19/161820/bedah-buku-menemani-minoritas-perlu-perspektif-lain-membaca-ahmadiyah

Saturday, May 18, 2019

PP Muhamadiyah: Pembelaan pada Muslim Ahmadiyah Adalah Sikap Adil Umat Beragama


Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Majlis Pustakan dan Informasi PP Muhamadiyah sekaligus peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Najib Burhani menyatakan, minoritas adalah definisi yang sering dikaitkan secara jumlah kecil dan lemah.

"Karena itu pembelaan pada kelompok minoritas adalah sikap yang seharusnya ditunjukan umat beragama atau cendekiawan," ujarnya dalam bedah buku tulisannya, "Menemani Minoritas" di Gedung Baitul Kemang, Bogor, Sabtu 18 Mei 2019.

Najib mengatakan, buku tersebut berisikan perkenalanya dengan beragam komunitas minoritas di Indonesia. Salah satunya adalah Ahmadiyah, komunitas muslim yang sudah dikenalnya selama 14 tahun.

Burhani mengaku menyaksikan bahkan menjalani bersama kegiatan keagamaan bersama Ahmadiyah. Sebagai peneliti, dia mengikuti berbagai kegiatan keagamaan muslim Ahmadiyah seperti Jalsah (pertemuan tahunan) Ahmadiyah baik di Indonesia maupun di tempat awal berdirinya Ahmadiyah yaitu Qadian, India. Bahkan bertemu dengan pemimpin tertinggi Muslim Ahmadiyah, Hazrat Mirza Masroor Ahmad yang diyakini sebagai Khalifah Muslim Ahmadiyah seluruh dunia.

Najib mengatakan, tidak ada perbedaan antara muslim Ahmadiyah dengan kelompok muslim umumnya kecuali keyakinan bahwa Imam Mahdi yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad datang di akhir zaman, telah turun pada wujud pendiri Ahmadiyah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang kemudian setelah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad wafat dilanjutkankan dalam bentuk khilafat spiritual dengan pemimpin tertingginya saat ini adalah Khalifah V yang bernama Hazrat Mirza Masroor Ahmad

Sementara itu, Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad mengatakan sudah mengenal Ahmadiyah hampir 30 tahun sejak masa kuliah. Kala itu Pengikut Ahmadiyah selalu rajin mengenalkan Alqur’an yang di terjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.

Komunitas Ahmadiyah ini sangat unik karena meski terus menerus mendapatkan tindakan kekerasan tetapi mereka tidak pernah mau menunjukan kekuatan perlawanan fisik tetapi selalu sabar menghadapi semua tindakan tersebut.

Gelombang tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah menurut Rumadi naik turunnya sangat ditentukan isu politik, meski demikian secara hukum Ahmadiyah saat ini lebih diuntungkan karena tidak ada satupun pengadilan yang menyatakan Ahmadiyah sudah dilarang oleh pemerintah.
Mubarak Ahmad Kamil, Ketua Umum Pemuda Ahmadiyah mengatakan, sangat mengapresiasi karya Najib Burhani yang sangat detil tentang Ahmadiyah yang menggambarkan keseriusannya sebagai peneliti yang bukan cuma menyajikan fakta sesungguhnya tentang Ahmadiyah yang berbeda dengan stigma yang selama ini ada di masyarakat.

https://www.liputan6.com/news/read/3969771/pp-muhamadiyah-pembelaan-pada-muslim-ahmadiyah-adalah-sikap-adil-umat-beragama

Tuesday, May 14, 2019

Bedah Buku "Menemani Minoritas" di Kampus Mubarak Parung

Bedah Buku (18 Mei 2019), Ngabuburit, dan Buka Puasa Bersama di Parung! "whatever is done to and for ‘the least’ is done to and for God himself" (apapun yg dilakukan untuk & bagi mrk yg 'terlemah', pada hakikatnya adalah dilakukan untuk & demi Tuhan sendiri)


Sunday, May 5, 2019

Bedah Buku "Menemani Minoritas" di Maarif Institute

Bedah Buku "Menemani Minoritas" di Maarif Institute



Membela Mereka yang Berbeda

Majalah Tempo, edisi 4 Mei 2019

Catatan pengalaman Ahmad Najib Burhani dalam membela Ahmadiyah. Menyodorkan empat argumen pembelaan terhadap kaum minoritas.






Tempo
Edisi : 4 Mei 2019

Catatan pengalaman Ahmad Najib Burhani dalam membela Ahmadiyah. Menyodorkan empat argumen pembelaan terhadap kaum minoritas.

Membela Mereka yang Berbeda/Tempo
Kaum minoritas agama merupakan pokok soal yang diungkai Ahmad Najib Burhani dalam buku ini. Minoritas memiliki spektrum makna yang luas dan kelompok yang beragam. Lazimnya, minoritas dimaknai secara numerik atau berdasarkan posisi. Memaknai minoritas semata berdasarkan jumlah tentu tidak memadai. Karena itu, Najib memaknai minoritas sebagai “mereka yang secara objektif mengalami disadvantages dalam masyarakat”.

Penggunaan istilah minoritas boleh jadi meneguhkan polarisasi yang rentan dipakai bagi misi tertentu. Sebaliknya, keengganan menggunakan istilah minoritas bisa menutupi adanya praktik diskriminasi atau menganggap seakan-akan sama sekali tak ada persoalan. Menurut Najib, kalangan minoritas merupakan fakta yang patut dibela karena mereka kerap tak mampu melakukannya sendiri. Karena itu, atas saran Pendeta Martin Sinaga, Najib memberi bukunya tajuk Menemani Minoritas. 

Bagi Najib, pembelaan terhadap kaum minoritas bisa didasarkan pada posisi mereka yang “tertindas, mengalami minorisasi, marjinalisasi dan terdiskriminasi”. Secara rinci, ia menyodorkan empat argumen pembelaan terhadap minoritas. Pertama, memberikan keseimbangan wacana yang selama ini didominasi kalangan mayoritas. Kedua, secara psikologis, minoritas senantiasa dalam tekanan. Ketiga, kebajikan dan panggilan keagamaan agar menyayangi minoritas. Keempat, bobot demokrasi ditakar dari perlindungan terhadap kaum minoritas. 

Munculnya kaum minoritas agama di Indonesia tak lepas dari ketentuan tentang “agama resmi” yang diakui pemerintah. Di luar enam “agama resmi” itu, berkembang agama asli antara lain Ugamo Malim, Kaharingan, dan Sunda Wiwitan, serta gerakan agama baru seperti Lia Eden, Gafatar, dan Brahma Kumaris. Menurut Najib, perlindungan terhadap kaum minoritas agama masih berhadapan dengan problem ideologis, yakni pemaknaan sila pertama Pancasila yang cenderung bias monoteis, makna “agama” yang cenderung diskriminatif, dan pemihakan pemerintah pada pemahaman agama yang ortodoks.  


Kendati sejumlah kalangan minoritas agama disinggung dalam buku ini, agaknya Ahmadiyah menempati porsi utama. Hal ini tak bisa dilepaskan dari studi doktoral Najib ataupun keterlibatannya dalam membela kalangan Ahmadi. Ia mencatat, kontroversi Ahmadiyah yang dulu hanya terjadi dalam tataran wacana kini berubah menjadi kekerasan fisik. Penye-babnya, fatwa Majelis Ula-ma Indonesia menyebutkan Ahmadiyah telah menodai agama.   

Lewat observasi langsung, Najib menjernihkan prasangka yang keliru terhadap kalangan Ahmadi. Ihwal Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi tanpa syariat, misalnya, ia menjelaskan bahwa syariatnya persis seperti yang dijalankan Nabi Muhammad. Lalu kitab suci kaum Ahmadi adalah Al-Quran, sementara Tazkirah merupakan kumpulan wahyu, ilham, dan ketetapan dari Mirza. Adapun Qadian adalah tempat penziarahan, bukan tujuan menunaikan ibadah haji Ahmadi. Najib tak menyebut Ahmadiyah sebagai “sesat”, tapi distingtif atau unik. 

Semestinya, menurut Najib, negara tak mengurusi perkara teologi, tapi bertugas melindungi segenap warga negara dalam menjalankan ritual menurut keyakinan masing-masing. Dalam kesaksiannya pada sidang keenam judicial review terhadap Undang-Undang Pencegahan dan Penodaan Agama, 7 November 2017, Najib menyatakan perbedaan dalam penafsiran ajaran agama tidak bisa dimaknai sebagai penodaan. Jika hal ini dilakukan, pemeluk agama lain bisa menjadi korban undang-undang tersebut.     

Mengingat buku ini lebih sebagai catatan pengalaman Najib dalam melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah, pembaca tak banyak menemukan elaborasi konseptual tentang minoritas agama. Dalam wawancaranya, Najib mengaku menggunakan konsep homo sacer dari filsuf Italia, Giorgio Agamben, dalam melihat Ahmadiyah, tapi kurang kentara bagaimana konsep itu mewarnai analisisnya dalam buku ini. 

Selain itu, buku ini kurang diperkaya dengan analisis ekonomi-politik agar terhindar dari pandangan yang kelewat normatif. Berkelindannya kepentingan ekonomi dan hasrat politik bisa membantu melihat bekerjanya faktor struktural dalam perlakuan terhadap kalangan minoritas. Terlepas dari beberapa catatan, pesan buku ini memiliki resonansi yang kuat bahwa minoritas mesti dibela karena pembelaan itu menunjukkan esensi kemanusiaan kita. 


BUDI IRAWANTO, PENELITI TAMU PADA ISEAS-YUSOF ISHAK INSTITUTE, SINGAPURA.  

https://majalah.tempo.co/read/157609/membela-mereka-yang-berbeda

Diskusi IPM Banten