Monday, May 20, 2019

3 Kelompok Besar Islam Bicara Minoritas

Dari kiri: Mubarak Ahmad Kamil (MKAI), Dr. H. Rumadi Ahmad, MA (Ketua Lakpesdam PB NU), Michael Sebastian (Gusdurian Bogor), dan Dr. Ahmad Najib Burhani (Penulis Buku “Menemani Minoritas”)
SwarnaInstitute.org. “Menemani Minoritas”, bagi kelompok-kelompok agama besar terutama mayoritas Islam di Indonesia memotret kondisi resesi atas kebebasan berkeyakinan/beragama yang akhir-akhir ini dialami oleh kelompok minoritas. “Menemani Minoritas”, merekam jejak proses kelompok minoritas dalam memperjuangkan hak-haknya secara eviden dan menyingkap jati diri sebuah kelompok agama yang berbeda sehingga berujung menyandang status sebagai “Minoritas”. Ahmad Najib Burhani seorang Peneliti Senior LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) merefleksikan hal itu dalam sebuah bukunya yang berjudul “Menemani Minoritas: Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan kepada yang Lemah”.

Dalam diskusi dan bedah bukunya di Gedung Baitul Kemang, Kab. Bogor (Sabtu, 18/2/2019), ia mengulas secara dasar pengertian kelompok Minoritas yang termarginalkan dalam berbagai aspek. Sebagai salah satu Pengurus Pusat Muhamadiyah yang mengkaji persoalan kelompok umat beragama/berkeyakinan, ia mengatakan adanya dominasi kelompok tertentu secara hegemoni dalam masyarakat sehingga kapasitas kelompok lainnya sebagai warga negara dibatasi antar paham mayoritas dan minoritas.

“Minoritas mengindikasikan adanya super ordinat dan sub ordinat. Kemudian ada masyarakat yang mengalami ketertindasan dan termarginalkan karna ada dominasi secara hegemoni pada kelompok tertentu”, tuturnya.

Ia menegaskan definisi minoritas bukan dilihat dari banyaknya pengikut atau massa dalam sebuah kelompok, terlebih hak dan kewajibannya sebagai masyarakat yang tidak dilindungi serta tindakan diskriminasi terhadap status sosial kian mengancam kehidupan kelompok umat beragama/ berkeyakinan lainnya.

“Yang disebut minoritas mereka yang mengalami ketidakperlindungan secara sosial. Minoritas bukan monorit dan statistik tetapi lebih kepada nasib dan pemberlakuan masyarakat kepada kelompok tersebut”, ujar Nadjib.

Kendati akan hal itu, Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PB NU (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdhatul Ulama), menanggapi konflik kelompok-kelompok minoritas yang dielaborasi dalam buku tersebut, salah satunya Ahmadiyah. Meskipun Ahmadiyah tersebar hingga 206 negara di dunia, namun peristiwa penyegelan rumah ibadah Ahmadiyah di Depok tahun 2017 dan pengusiran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok tahun 2018 menunjukan keberpihakan masyarakat atas kelompok mayoritas.

Ia juga menyampaikan solusi yang ditangani secara persfektif Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap kasus-kasus minoritas tidaklah cukup berperan menghadapi diskriminasi dan intoleransi atas perbedaan keyakinan maupun ajaran. Baginya komunikasi antar umat beragama/keyakinan menjadi titik temu dalam membangun inklusi sosial bagi masyarakat khususnya dalam kehidupan sehari-hari.
“Ternyata menyelesaikan kasus-kasus konflik sosial dari kelompok minoritas yang dianggap sesat itu tidak bisa hanya menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia. Akhirnya harus ditempuh dengan mode-mode inklusi sosial. Membangun jembatan komunikasi antar kelompok yang dianggap minoritas”, pungkas Rumadi dalam menanggapi konflik minoritas dari persfektif NU.

Rumadi juga meninjau kelompok-kelompok minoritas yang mendapat SKB Tiga Menteri termasuk Ahmadiyah dan Millah Abraham (Eks Gafatar). Ia menganalisis komparasi kedua kelompok tersebut baik secara dinamika hukum dan sosial yang berkembang.

“Ahmadiyah diuntungkan secara hukum. Tidak pernah ada pengadilan yang menyatakan Ahmadiyah itu organisasi terlarang dan berbahaya. Tapi dari sisi sosial hal itu (peristiwa Ahmadiyah) ongkosnya sangat mahal sekali. Berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah terhadap Millah Abraham (Eks Gafatar), mereka ditangani dan dibubarkan organisasinya serta diadili beberapa orangnya yang disebut melanggar pasal penodaan agama. Tapi Ahmadiyah tidak ada. Sejauh ini Ahmadiyah tidak melanggar pasal 156 a KUHP dan organisasinya tidak dibubarkan maupun orang-orangnya tidak ada yang diadili”, ujar Rumadi.

Selain itu, MKAI (Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia), Mubarak Ahmad Kamil juga merespon positif hadirnya buku Menemani Minoritas. Kamil mengatakan buku tersebut mengupas sejarah Ahmadiyah dan menjelaskan peristiwa-peristiwa diskriminasi secara eksplisit yang dialami Ahmadiyah. Ia berharap buku tersebut dapat mempengaruhi setiap pembaca agar dapat memahami dan menerima Ahmadiyah dengan baik, terlebih seorang penulisnya, Ahmad Najib Burhani merupakan tokoh Islam dari Muhammadiyah, sehingga persektif tentang Ahmadiyah dapat objektif.
“Saya bersyukur sekali karena referensi dalam buku ini tidak akan pernah usang, karena Nadjib menceritakan Ahmadiyah secara nyaman dan mudah dipahami. Karena jika kita cek di Gramedia, sangat sedikit buku yang pandangannya positif tentang Ahmadiyah”

“Buku ini akan menjadi rujukan bagi penulis/peneliti yang hendak mengenal tentang Ahmadiyah. Buku ini menjadi solusi bagi 0,01 persen orang Indonesia yaitu orang yang punya minat membaca. Dan 99,99 persen lainnya yang tidak menyentuh buku ini, harapannya 0,01 persen bisa mempengaruhi yang 99,99 persen. Karena buku ini sangat jujur dan apa adanya tentang Ahmadiyah”, ujar Kamil.


Penulis: Fauziah Rivanda

http://swarnainstitute.org/2019/05/20/3-kelompok-besar-islam-bicara-minoritas/

No comments:

Post a Comment

Diskusi IPM Banten